Thursday, August 30, 2001

Politik Kantor, Telaah Hasil Polling

HRI mengadakan polling sederhana untuk meneliti seberapa jauh keberadaan politik kantor terjadi di organisasi di Indonesia. Berikut hasil polling tersebut yang diolah dalah tulisan telaah dari Tim HRI.

Semua kelompok usia cenderung berpolitik ke segala arah. Mereka cukup mengerti pentingnya menjalin hubungan ke atas, ke samping dan ke bawah karena sudah memiliki pandangan multi dimensi artinya utk mencapai sesuatu mereka perlu dukungan dari semua pihak. Mereka juga sudah menerapkan coopetition (competition + cooperation). Hal ini menunjukkan bahwa ternyata orang Indonesia memiliki awareness yg baik soal ini karena awalnya banyak persepsi miring dimana "menjilat" ini lebih diarahkan ke atas dan hanya oleh orang² yg "agresif". Yang di atas, meski sudah di atas, tetap punya kepentingan dengan yg di bawah supaya tetap di atas. Jadi tidak cuma 'memeras' yg di bawah. Secara umum, masing² pihak sadar adanya "mutual dependency" utk merealisasi interest masing². Agresif, berpandangan multi dimensi, sadar akan multi dependency. Data ini mementahkan pendapat sementara org yg melihat hal ini hanya dilakukan oleh orang/kalangan tertentu. Jadi semuanya berlaku pada semua kelompok usia. Perilaku politik mereka agresif dan multi level dependency.



Dari keseluruhan responden menyatakan 74% perlu berpolitik di kantor, 16% tdk mau, 11% menjadikannya sebagai kesempatan. Data ini memperlihatkan keadaan nyata bahwa memang ada orang yg mencari-cari kesempatan, ada yg tidak mau ikut-ikutan dan sebagian besar sadar akan pentingnya hal ini. Ada kesadaran bahwa politik itu tidak bisa dihindarkan dan merupakan bagian integral dari pekerjaan.

Lingkup dalam berpolitik di kantor sudah luas, tidak hanya ke individu tapi juga ke unit kerja bahkan sudah ke organisasi. Ini mencerminkan kiprah mereka yg sudah cross departmental dimana strategi pendekatan orang kita yang lebih populis (gotong royong). Mereka sepertinya sudah punya peta 'peperangan' artinya tidak mungkin menang perang kalau cuma main dengan orang per orang atau kalau cuma main di kandang sendiri. Istilahnya mesti pakai cara "keroyokan". Diversity kita bukan di ras, tapi di tingkat sosial. Mungkin satu aspek negatifnya: jadi kelihatan kurang gentleman. Budaya kelompok di kita memang cukup kuat karena "family basis" kita cukup kuat.

Taktik yang digunakan mengarah pada pembentukan jaringan dan berusaha membangun citra yang positif. Pembentukan jaringan ini sangat konsisten dgn keroyokan tadi sedangkan membangun citra yg positif menggambarkan santunnya orang kita dalam berpolitik walaupun ada juga kecenderungan utk "cari muka". Disamping santun, mungkin ini cara paling aman tapi sebenarnya beresiko. Yang menarik adalah sangat sedikit sekali (hampir tidak ada) yg menggunakan taktik memuji padahal hal ini tidak beresiko. Barangkali karena lebih pasif atau masih malu². Kepribadian orang kita biasanya luarnya pasif sedangkan dalamnya agresif (suka mengambil risiko malah ada kesan kasak-kusuknya juga). Ini sebenarnya mempersulit kolaborasi yg sehat karena banyak "gray area" nya.

Usia tidak membedakan perilaku politik. Mereka sama² agresif (tapi agresif ketimuran), hati² & keroyokan, istilahnya paradoksial. Ini juga mendukung pada data bahwa memberi pujian dan dukungan sporadis kurang diminati sbg strategi. Ini gaya kepemimpinan khas kultur Indonesia. Sudah bagus sekalipun masih dibilang lumayan. Yg sesungguhnya ada di dalam seringkali tidak tertangkap secara eksplisit. Walaupun perilaku politik ini tidak pandang usia tapi pada kelompok usia 30-an ada agresivitas luar dalam. Hal ini bisa dipahami karena pada usia 30-an ini adalah masa mulai membangun karir dan juga ada kecenderungan berpikir yang enak-enak dan muluk-muluk.

Arah berpolitik tidak dipengaruhi oleh gender (tetap kesegala arah) walaupun untuk wanita secara umum cenderung ke level yang sejajar (solidaritas perempuan) bukan ke atas. Ini berkaitan dgn budaya di tempat kita dimana posisi wanita di strata sosial masyarakat masih belum berani vertikal. Agak beda pada wanita yg posisinya lebih tinggi dimana kesan ambisiusnya biasanya mulai nampak, dan pada posisi ini solidaritas perempuannya bisa melemah.

Pada wanita masih ada penolakan berpolitik. Wanita juga cenderung individual-oriented sehingga tidak seagresif dan sekomprehensi pria dlm berpolitik. Wanita juga masih risi dan tidak ambisius dalam berpolitik di kantor.

Taktik yg digunakan oleh pria & wanita dalam berpolitik di kantor adalah membangun citra positif & membentuk jaringan. Khusus untuk wanita, dua taktik ini cenderung lebih kuat/besar dibandingkan taktik yg lain karena kemungkinan taktik inilah yg paling sesuai dengan kekuatan/kelemahan mereka. Jaringannya lebih ke "saving" dan tanpa orientasi politis. Jadi bagi wanita agak sulit utk memuji atau mendukung secara sporadis. Hal ini tdk lepas dari kultur masyarakat kita. The best among the worst, untuk merasa comfort aja.

Untuk jabatan, kalangan profesional, manajer bawah, menengah dan atas cenderung memilih membangun citra yang positif sebagai taktik dalam berpolitik di kantor. Sedangkan klerk ternyata lebih suka membentuk jaringan. Bisa jadi hal ini karena pekerjaan klerek memang spesifik sekali dan ruang lingkupnya terbatas. Semakin tinggi jabatan seseorang maka membangun citra positif semakin mendapat tempat, karena ruang lingkupnya semakin luas sehingga banyak yg bisa diekspos.

Untuk semua tingkat pendidikan, arah politik yg diambil polanya seragam yaitu ke level yg sejajar dan ke atas. Sepertinya ada gejala sindroma kurang mau melihat ke bawah. Hal ini juga bisa kita kaitkan dg sistem pendidikan di kita dimana pada jenjang S1 sedikit sekali materi leadershipnya, terutama followershipnya. Mid leader ini sebenarnya adalah linking pin, bukan malah mencari gantungan ke atas. Tapi yg di atas seringkali juga tidak memperlakukan bawahannya sebagai linking pin (inginnya dilayani terus) dan kurang memiliki konsep servant leadership. Piramida terbalik seharusnya diterapkan. Budaya priayi yg dibawa sejak jaman Belanda masih ada pengaruhnya. Jabatan lebih dilihat sebagai alat utk menaikkan status sosial dan power (menekan yg di bawah) ketimbang utk melayani. Sehingga melihatnya keatas terus dan menjadikan bawahan sebagai pijakan kekuasaan saja.

Semua tingkat pendidikan memang memandang politik di kantor itu perlu, hanya saja makin tinggi pendidikan, cakupannya cenderung semakin luas. Pada jenjang D3, individu & organisasi seimbang, jenjang S1 lebih individu, dan jenjang S2 lebih ke organisasi. Yang menarik waktu jenjang S1 malah bergeser ke individu (menyempit wawasannya). Seperti penjelasan sebelumnya S1 di kita serba tanggung yaitu dibentuk utk menjadi setengah ilmuwan dan setengah tenaga kerja siap pakai, sehingga sempit sekali wawasannya. Jadi mereka memang tidak disiapkan untuk menjadi (minimal) manajer. Taktik yg digunakan pada seluruh tingkat pendidikan hampir sama yaitu membangun citra positif, pengecualian utk SLTA yg cenderung merata untuk semua taktik.

Pada masa kerja, arah politik yg diambil ternyata berbeda-beda. Waktu awal-awalnya bekerja masih pada level yg sejajar, lalu semakin lama orientasinya lebih ke atas meskipun pada masa kerja 21-25 tahun ke sejajar lagi, tapi setelah itu kembali berorientasi ke atas. Sepertinya budaya di tempat kerjanya memang demikian artinya utk sukses harus "look up". Ada sistem/pola yg terbentuk secara tidak sengaja di Indonesia bahwa memang "look up" lebih dihargai ketimbang look down. Jadi bukan karena orangnya tidak mau "look down", tapi lingkungan mengantar mereka menjadi "look up",
sehingga mereka menjadi terbiasa. Padahal leader yang sukses itu juga harus "look down".

Berkaitan dgn masa kerja ini mayoritas menyatakan 'perlu' berpolitik di kantor dan pergerakannya dari individu ke individu, belum kompleks. Taktik yg mereka gunakan pada awal²nya adalah membangun citra positif & membentuk jaringan. Namun semakin lama hanya ke citra positif (lebih individual) dan dipenghujung karir kembali ke citra positif & jaringan. Maturity tampaknya
membawa pekerja kita lebih "wise" sehingga senioritas masih banyak sekali berperan dalam karir di organisasi kita (yg muda belum dianggap terlalu capable). Hanya saja proses maturity lama sekali (setelah 20 th kerja). Mungkin karena pekerja kita kurang dibekali dengan konsep² dasar manajemen. Saat ini dimana keadaan lebih maju banyak bedanya dengan beberapa tahun sebelumnya. Jadi lamanya masa kerja tidak berkorelasi positif kepada penguasaan trik² berpolitik di perusahaan tsb. Sayangnya begitu kemampuan berpolitik matang, karirnya keburu habis sehingga hal ini bisa menjadi penyebab 'post-power syndrome'.

Kalau berpedoman pada hirarkinya Maslow, pekerja kita butuh waktu lama sekali (hingga di penghujung karir) utk sampai di puncak hirarki. Seharusnya, pada usia kerja produktif, mereka sudah ada di puncak sehingga punya kesempatan yg cukup utk mewujudkannya. Ketiadaan kesempatan bisa menyebabkan kegelisahan pekerja saat pensiun. Kegelisahan yg bisa menjurus ke frustrasi. Penyebabnya kemungkinan "political network elitism". Jadi, yg namanya berpolitik secara jaringan sifatnya sangat eksklusif. Cuma elit² perusahaan saja yg bisa masuk. Ini sangat kontras dgn budaya di kita yg kolektif. Mungkin team approach nya operasional saja, tidak strategic. Jadi kerja utk kumpul2 dan tidak bicara hal-hal yg sifatnya strategis (misalnya bukan utk problem solving hanya execution).

Banyak manager muda yg gagal bukan karena kemampuan teknisnya, tapi lebih banyak karena human approach-nya yang keliru. Mereka memang cuma executor (seperti robot) dan melakukan pekerjaan yang tidak strategis. Pokoknya jalankan ini, kerjakan itu. Tidak ada upaya utk menumbuhkan karakter pegawai supaya bisa cepat matang. Di sisi lain manager puncak takut kalau bawahannya cepat matang. Penyebab utama kenapa manajemen puncak takut yg bawah lebih pinter atau maju karena posisi atau jabatan di Indonesia begitu tinggi harganya, sehingga apapun dipertaruhkan utk mempertahankannya. Bisa juga krn dia baru aja dapat kesempatan, dan masa utk menikmatinya nggak akan lama krn sdh akan pensiun. Jadi, mereka akan nikmati sepuasnya. Mereka tidak mau diganggu gugat. Jadi pemikirannya bukan ke produktivitas.

Bagi mereka yg posisinya lebih di atas, keinginan utk membangun citra positif & membentuk jaringan hampir sama, tapi utang budi & dukungan sporadis ternyata juga dipakai. Semakin lama bekerja, logikanya karir makin menanjak. Itu berarti non individu perlu dipakai. Utang budi & dukungan sporadis bisa menjadi taktik pelengkap utk membangun jaringan. Utk jabatan yg lebih rendah, citra positifnya menonjol karena tidak begitu perlu membuat jaringan ke bawah. Sekali lagi mereka lebih "look up". Citra positif lebih utk menjaga wibawa (legitimasi). Leader kita memang menyukai struggle utk mencari legitimasi. Karena legitimasinya bukan datang dari kompetensi, tapi dari perkawanan dan bahkan kolusi (legitimasi semu), isitilahnya "leadership by publicity".

Mereka yg berada pada posisi sejajar juga sama dan fondasinya tampaknya dimulai dari sini. Mereka membangun jaringan dari individu ke individu lain, seperti merajut. Sikap mereka sebenarnya tidak mau, tapi ada taktiknya. Citra positif & jaringan sama² dominan. Ini spt rule of the game. Jadi, citra positif bersisi triple: ada yg terpaksa, ada yg fungsional, ada yg hanya cari muka. Pada antar individu, membangun citra positifnya menonjol. Sedangkan pada unit kerja & organisasi untuk citra positif & jaringan (hampir) sama. Mungkin karena sudah melibatkan kelompok².

Sikap mereka tetap menganggap perlu dan pentingnya berpolitik di kantor dengan arah dan lingkup yang tidak terpola (semua lingkup & semua arah). Mereka berpolitik ke atas baik secara individual maupun kelompok. Ke bawah dan ke samping juga demikian. Semua sama pentingnya. Jadi, meskipun dukungan kelompok juga penting, lobi² individual tidak ditinggalkan, dua-duanya jalan. Ini memang tipikal orang kita, fleksibel. Taktiknya juga tetap yaitu membangun citra positif & membentuk jaringan.

No comments:

Post a Comment