tag:blogger.com,1999:blog-69652417782388733432024-03-13T12:09:27.400-07:00HRI - Human Resources IndonesiaUnknownnoreply@blogger.comBlogger7125tag:blogger.com,1999:blog-6965241778238873343.post-31822351111111904132011-08-08T06:59:00.000-07:002011-08-08T06:59:32.228-07:00HRI di LinkedInHR Indonesia Group Discussion juga tersedia di LinkedIn dan bisa langsung diakses melalui <a href="http://www.linkedin.com/groups/HRI-155364">link ini</a>. Selamat bergabung dalam lingkaran diskusi para profesional HR di Indonesia.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6965241778238873343.post-88756231393840371312002-08-17T05:31:00.000-07:002011-06-01T05:47:14.485-07:00Diskusi: Penilaian KaryawanDear HRIers, di perusahaan saya dilakukan penilaian karyawan tahunan, form-nya sudah ada tetapi sepertinya banyak hal yang tidak bisa tercakup disitu. Jadi kalau kita isi lalu hasilnya kita bandingkan dengan penilaian langsung (berdasarkan opini pribadi, tanpa terikat formulir), kok sepertinya tidak sesuai.<br />
<br />
Saya sedang berusaha memperbaiki formulirnya. Saya minta masukan dari rekan-rekan, bagaimanakah sebaiknya formulir tersebut dibuat. Faktor apa saja yang harus diperhatikan?<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Saat ini formulir dibagi 3 bagian:<br />
<ul><li>Value</li>
<li>Competency</li>
<li>Absensi + SP</li>
</ul>Kemudian tiap bagian dibagi beberapa aspek, di bagian akhir, ada untuk usulan training, mutasi, promosi dan catatan khusus dan kolom tanda tangan penilai + yang dinilai<br />
<br />
Formulir tersebut ada 2 macam:<br />
<ul><li>Manajemen Staff</li>
<li>Non manajemen staff</li>
</ul>Perbedaan terletak pada aspek dan bobot nilainya. Formulir tesebut berlaku untuk semua departemen dan mempengaruhi kenaikan gaji<br />
<br />
Pertanyaan saya:<br />
<ul><li>Apakah format dasar pembagiannya sudah benar, ada usulan yang lebih baik?</li>
<li>Sebaiknya aspeknya apa saja?</li>
<li>Bagaimana pembagian pembobotan tiap aspeknya?</li>
<li>Sebaiknya siapa yang membuat pembagian bobotnya?</li>
<li>Apakah sebaiknya tiap departemen lain, atau bahkan tiap jabatan lain?</li>
<li>Berapa persen Absen + SP diikutkan dalam penilaian?</li>
</ul>Adakah yang tahu situs tentang hal ini?<br />
<br />
Mohon pencerahan.<br />
<br />
Dicky<br />
<br />
----------------------------------<br />
<br />
Biasanya, untuk rank & file, aspek yang dinilai memang seperti yang Bapak sebutkan. Namun untuk level managerial, akan lebih baik kalau ditambah 'goal' dan 'achivement' apa saja yang tercapai selama periode penilaian. Misalnya, untuk budgeting seorang manager dalam periode penilaian justru pengeluarannya dibawah budget, dan mencapai goal tertentu dalam pekerjaan, tentu ini akan memberikan penilaian yang baik.<br />
<br />
Aspek yang dinilai umumnya pengetahuan kerja, kualitas & kuantitas hasil kerja, reliabilitas, tanggung jawab, problem solving, kemampuan belajar, kerja sama, inisiatif, komunikasi, pengambilan keputusan, sikap kerja, reaksi terhadap kritik, tingkah laku, kepemimpinan untuk supervisor, kehadiran, serta pelatihan dan pengembangan (jika dalam perusahaan mengadakan banyak training seperti di hotel misalnya. Jadi aspek-aspek penilaian biasanya penekanannya akan bergantung dari jenis usaha).<br />
<br />
Setiap aspek yang dinilai, misalnya kuantitas kerja, dapat dibagi lagi menjadi sub-aspek :<br />
a. secara konsisten bekerja keras<br />
b. kemampuan mempertahankan kuantitas yang tinggi setiap saat<br />
c. kemampuan menyelesaikan dalam waktu yang telah ditentukan<br />
d. kemampuan menghasilkan hasil kerja sesuai dengan standar yang ditentukan<br />
<br />
Jika seluruh sub aspeknya ada 40, penilaiannya dapat memakai range 1 - 10 atau 1 - 100.<br />
<br />
Setelah setiap aspek dinilai, jumlah keseluruhan dibagi dengan jumlah total sub-aspek x 10 (jika pakai range1- 10) atau 100 (jika pakai range 1-100). Hasilnya adalah prosentase, dari % kemudian dapat digolongkan menjadi beberapa bagian, misalnya 0 - 20% = E, 21 - 40% = D, 41 - 60 = C, 61 - 80% = B, 81 - 100% = A (hanya contoh saja, pembagian ini biasanya direkomendasikan oleh HRM dan diputuskan oleh management team). Sehingga dari hasil tersebut, kenaikan gaji dapat ditentukan sebagai salah satu faktor dari performance.<br />
<br />
Untuk penilaian setiap karyawan dalam setiap departemen sebaiknya sama untuk mengikuti hukum keadilan, karena bukan jenis pekerjaannya yang dinilai, melainkan bagaimana seseorang bekerja. Jika satu jabatan tidak ada aspek tertentu, maka untuk jabatan tersebut dapat dilewatkan saja dan tidak dinilai, namun penghitungan nilai keseluruhan juga harus dikurangi.<br />
<br />
Absen dapat dibagi lagi menjadi sub-aspek : keterlambatan, absen tanpa informasi, sakit sekian hari, dst. SP juga dapat dimasukkan sebagai aspek yang bobotnya terserah pihak perusahaan.<br />
<br />
nita<br />
<br />
---------------------<br />
<br />
Keyword: evaluasi karyawan, employee appraisal, employee evaluationUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6965241778238873343.post-79118692533959048782002-05-18T16:05:00.000-07:002011-05-31T16:06:07.841-07:00HRI Club Learning ForumHRI Club Learning Forum adalah salah satu kegiatan yang digagas HRI dan kemudian berhasil menjadi salah satu acara yang ditunggu kalangan profesional Indonesia. Berikut kronologis terbentuknya HRI Club Learning Forum ditandai dengan terselenggaranya Learning Forum I bertajuk Managing People Out (MPO) yang diselenggarakan di Menara Batavia tanggal 18 Mei 2002.<br />
<br />
Setelah sebelumnya terbetik ide diantara aktivis dan pengurus HRI (virtual), yang pada mulanya selalu berhubungan melalui milis tanpa pernah ada yang mengenalpun satu sama lain, untuk membentuk suatu organisasi profesi non-virtual , maka HRI Club (HRIC) dirancang untuk menjadi ajang resmi bagi komunitas HRI agar dapat lebih memperdalam diskusi sekaligus membina jejaring dan saling bertukar informasi dalam kegiatan-kegiatan yang berlandaskan prinsip casual, egaliter dan independent. HRI Club Learning Forum I (HRIC LF-I) yang dilangsungkan pada hari Sabtu pagi, 18 Mei 2002 bertempat di Apartemen Batavia ini, diharapkan akan menjadi cikal bakal kegiatan-kegiatan lainnya yang perlahan akan berkembang layaknya bola salju yang menggelinding dan membesar, sehingga pada suatu saat HRIC memiliki posisi tawar yang kuat terhadap industri dan pemerintah sebagai salah satu institusi yang memperjuangkan ke-HRD-an di Indonesia. <br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Managing People Out (MPO) diangkat menjadi tema utama dalam ajang jumpa darat pertama ini setelah salah satu anggota milis melemparkan permasalahan tersebut dalam diskusi virtual, yang ternyata mendapat respon yang cukup baik dari anggota milis lainnya. Memperhatikan jalannya diskusi tersebut dan juga melihat bahwa masukkan-masukan yang diberikan sangat beragam, maka sebagain anggota milis yang dengan ke-nekad-annya dan tanpa paksaan tergabung dalam Organizing Committee (OC), memutuskan untuk menjadikan MPO sebagai tema dari HRIC LF-I ini. Melalui persiapan yang singkat dan keyakinan bahwa acara ini akan berjalan lancar, maka berkumpulah 59 praktisi, konsultan dan pemerhati masalah HRD dalam suatu forum diskusi non-formal di Apartemen Batavia, Sabtu pagi lalu. Fenomena yang menarik dari LF-I ini, ternyata dari peserta yang hadir cukup banyak yang bukan merupakan anggota HRIC maupun milis HRI (Virtual). Mereka hadir atas informasi tidak langsung yang didapatkan, maupun atas rekomendasi rekan kerja mereka yang tergabung dalam HRIC ataupun milis HRI.<br />
<br />
Mengapa diskusi dilangsungkan dengan bentuk Learning Forum dan dalam suasana yang non-formal ? Format acara seperti ini memang sengaja dihadirkan dalam diskusi tersebut dan diskusi-diskusi yang rencananya akan digelar di waktu yang akan datang, karena diselaraskan dengan prinsip casual dan egaliter yang dianut HRIC, dimana diharapkan akan menghadirkan nuansa yang baru dan berbeda dibandingkan acara-acara sejenis lainnya. Sebagai implikasinya, sudah menjadi kesepakatan bersama, bahwa dalam setiap HRIC LF, setiap peserta memiliki posisi yang sederajat, tidak ada yang paling benar dan paling pintar, sehingga setiap orang dapat bertindak sebagai nara sumber berdasarkan pengalamannya dalam menangani permasalahan dunia ke-HRD-an. <br />
<br />
Dengan pola seperti diatas, memang akan timbul suatu pertanyaan mendasar bagi mereka yang terbiasa terlibat dalam suatu forum, seminar maupun pelatihan. Kesimpulan apa yang dapat ditarik, dterapkan, atau mungkin dilaporkan kepada atasannya (bagi mereka yang hadir atas biaya dan dukungan perusahaan) ? <br />
<br />
<br />
Jawabannya adalah HRIC LF-1 ini tidak memberikan satu kesimpulan yang paling benar. Dengan kata lain, seluruh masukan dari para peserta forum adalah benar adanya dan dapat dipraktekkan pada masing-masing tempat bekerjannya yang tentunya harus mempertimbangkan situasi dan kondisi serta untung dan rugi bagi seluruh pihak yang terlibat. Namun demikian, sebagai bahan perbandingan bagi para peserta forum dan untuk memperkaya wacana dalam forum, HRIC mengundang Bapak Saidinur Anwar, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Human Resources GE Indonesia, beserta Bapak Budi Isman, yang saat ini menjabat sebagai VP Organizational Development PT. Coca-Cola Amatil, sebagai expert resources yang dapat berbagi best practices mereka dalam penerapan MPO di perusahaannya masing-masing. Hal yang paling menarik kemudian, dari peserta yang hadir dari 55 perusahaan ternyata hanya 3 perusahaan yang melakukan MPO secara sistemik. Dengan demikian sharing dari GE dan Coca Cola Amatil sebagai perusahaan yang telah memiliki infrastruktur dan sistem yang memadai menjadi sangat penting.<br />
<br />
Dengan menerapkan pola seperti diatas, jalannya diskusi ternyata menjadi lebih hangat, hidup dan tidak kaku. Para peserta secara bergantian memaparkan pengalamannya dalam penerapan MPO di tempat bekerjanya masing-masing sambil meminta masukan dari peserta lainnya. Bapak Budi dan Bapak Saidinur dengan antusias menceritakan pengalaman dan suka duka penerapan MPO di Coca Cola Amatil dan GE Indonesia yang mendapat tanggapan cukup hangat dari peserta lainnya. Waktu yang singkat memang tidak memungkinkan seluruh peserta untuk dapat saling berbagi dan bertanya. Hal ini jelas terlihat, karena pada sesi makan siang bersama para peserta masih saling terlibat dalam pembicaraan berkelompok, yang tentunya dengan ditemani hidangan yang sangat baik kualitasnya, hingga kemudian sepakat untuk membubarkan diri ketika hari sudah semakin siang.<br />
<br />
Sampai jumpa di event HRI Club Learning Forum selanjutnya...Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6965241778238873343.post-53674044855631035802002-05-16T16:10:00.000-07:002011-05-31T16:12:14.532-07:00HRI Club<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-Q0BnBhVKjbo/TeTjL2RtAvI/AAAAAAAAEks/I-iU3kCODUQ/s1600/logo-hr-indonesia-hri-medium.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-Q0BnBhVKjbo/TeTjL2RtAvI/AAAAAAAAEks/I-iU3kCODUQ/s1600/logo-hr-indonesia-hri-medium.jpg" /></a></div>Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk keempat terbanyak di dunia setelah Cina, India dan AS. Dengan jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta, Indonesia tak hanya kaya akan sumberdaya alam, tapi juga kaya akan sumberdaya manusia. Seperti halnya, sumberdaya alam, sumberdaya manusia tak akan mendatangkan manfaat bagi bangsa dan negara apabila tak dikelola dengan baik.<br />
<br />
Sebagai praktisi, akademisi dan pemerhati manajemen sumberdaya manusia, EFEKTIVITAS PENGELOLAAN SUMBERDAYA MANUSIA INDONESIA merupakan mimpi kita bersama. Mimpi tersebut perlu kita jadikan cita-cita agar tak menjadi sekedar khayalan. Mewujudkan cita-cita membutuhkan suatu wadah berupa organisasi.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Menyadari kebutuhan akan wadah tadi, Moderator milis HRI bersama sejumlah anggota milis membentuk HRI Club. Namun kami juga menyadari bahwa tak mungkin kami mewujudkan cita-cita di atas tanpa bantuan anda semua.<br />
<br />
Visi HRI Club adalah sebagai sebuah LEARNING ORGANIZATION, tempat di mana kita semua saling belajar dan berbagi. HRI Club diharapkan pula menjadi sebuah ACTION ORGANIZATION (action-oriented, tidak hanya berhenti sebatas konsep) yang KASUAL (tidak formal atau birokratis) dan KOLEGIAL (berlandaskan semangat kebersamaan). <br />
<br />
<b>Organisasi</b><br />
<br />
Pada intinya, organisasi HRI Club terdiri dari NATIONAL CLUB dan LOCAL CLUB. National Club dipimpin oleh seorang National President dengan dibantu oleh tiga orang National Vice President yang membidangi Education, Membership, dan Administration and Finance.<br />
<br />
National President HRI Club saat ini dijabat sementara oleh MOHAMAD ADRIYANTO, sedang ketiga orang National Vice Presidentnya adalah URIP SEDYOWIDODO (Education), SAHALA HARAHAP (Membership), dan FIRDAUS NOOR (Administration and Finance).<br />
<br />
Local Club dipimpin oleh seorang Local President dengan dibantu oleh tiga orang Local Vice President yang membidangi Education, Membership, dan Administration and Finance. Local Club dapat dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 orang anggota.<br />
<br />
<b>Keanggotaan</b><br />
<br />
HRI Club mengenal dua macam keanggotaan. Yang pertama adalah ANGGOTA MAHASISWA, yaitu mereka yang terdaftar sebagai mahasiswa program strata satu, diploma tiga, diploma dua, diploma satu atau yang sederajat dan memiliki minat terhadap pengembangan sumberdaya manusia di Indonesia. Macam keanggotaan yang kedua adalah ANGGOTA UMUM, yaitu mereka yang tak dapat dikategorikan sebagai anggota mahasiswa.<br />
<br />
Untuk saat ini, anggota mahasiswa diwajibkan membayar iuran sebesar Rp 150.000 per tahun, sedangkan anggota umum diwajibkan membayar iuran sebesar Rp 300.000 per tahun.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6965241778238873343.post-40780514451344940042002-05-10T05:38:00.000-07:002011-06-01T05:40:50.755-07:00Diskusi: Kualifikasi vs Jabatan vs Pendapatan<asiagian@softhome.net>Rekan-rekan, saya bukan orang yang berkecimpung dalam bidang Human Resources, tapi ada beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan hal ini.<br />
<br />
Saya, dan banyak rekan-rekan lain yang berkecimpung dalam bidang IT (Information Technology)/komputer, sedang berdiskusi mengenai subject di atas di salah satu milis IT. Pemicunya adalah lowongan pekerjaan yang diposting di milis tersebut, tapi antara "jabatan" dan "kualifikasi/job descriptionnya" tidak masuk akal. Istilah kami "cuma Superman yang bisa melakukan hal ini".<br />
</asiagian@softhome.net><br />
<a name='more'></a><br />
Saya kasih ilustrasi sbb:<br />
<br />
1. Sebuah perusahaan membutuhkan 1 orang pengemudi untuk Direktur Utama. Syaratnya, sopan santun dan HARUS mahir mengemudikan semua jenis kendaraan, baik itu Motor, Sedan, Bus, Truk Gandengan/trailer.<br />
<br />
Lowongan pekerjaan diatas sudah fokus, yaitu pengemudi untuk Direktur Utama, yang logikanya menggunakan mobil sedan (misalnya BMW atau Mercy). Tapi syaratnya harus mahir mengemudikan truk Gandengan, tentu tidak masuk akal, walaupun sama-sama kendaraan.<br />
<br />
2. Sebuah perusahaan membutuhkan 1 orang pengemudi yang mahir mengemudikan semua jenis kendaraan, baik itu Motor, Sedan, Bus, Truk Gandengan/trailer.<br />
<br />
Lowongan diatas juga membingungkan, walaupun titelnya "pengemudi", tapi tidak jelas pengemudi apa?<br />
<br />
Nah di sini timbul jawaban yang kurang lebih memojokkan perusahaan tersebut, misalnya "kualitas Superman/hebat, gaji cuma bisa beli Supermi/kecil) atau "ini perusahaan ngga waras yah, mana ada yang bisa", dan sejenisnya.<br />
<br />
Juga belum lama ini, saya baca iklan (cukup besar) di media cetak yang mencari Manager, tapi job descriptionnya/kualifikasinya sama sekali tidak ada hubungannya dengan "Manage People", lebih pada "staff".<br />
<br />
Pertanyaan:<br />
1. Apa pendapat rekan-rekan pada 2 ilustrasi di atas, dilihat dari sisi HR, karena ilustrasi diatas sering kami baca dan dijadikan bahan perbincangan?<br />
<br />
2. Mungkin rekan-rekan yang ada di bidang Human Resources bisa memberikan pencerahan, khususnya untuk pekerjaan dalam bidang IT, bagaimana/kenapa hal tersebut bisa terjadi? Bagaimana HR menentukan kualifikasi untuk satu pekerjaan, baik untuk yang tidak punya dept. IT maupun yang sudah punya.<br />
<br />
Salam<br />
<asiagian@softhome.net> Albert<br />
<br />
From: "Albert Siagian" <asiagian@softhome.net><br />
</asiagian@softhome.net></asiagian@softhome.net><asiagian@softhome.net><asiagian@softhome.net>Sent: Tuesday, April 30, 2002 2:08 AM</asiagian@softhome.net><br />
-------------------<br />
<br />
From: "Richard Sigmund S." <rtupang@ptcpi.com><br />
To: <hri@topica.com><br />
Sent: Tuesday, April 30, 2002 3:01 AM<br />
<br />
Saya bukan HR tapi kayaknya itu barangkali perusahaan tidak ada niat untuk merekrut pegawai lewat jalur media tapi merasa perlu memenuhi persyaratan depnaker untuk merekrut dari luar lewat media masa. Tapi yg direkrut tetap saja orang dalam lewat japri dengan kriteria jabatan, jobdes dan persyaratan normal.<br />
<br />
Salam Hormat,<br />
Richard/<br />
<br />
-------------------<br />
<br />
From: "Albert Manesa" <ama662002@yahoo.com><br />
Sent: Tuesday, April 30, 2002 3:29 AM<br />
<br />
Rekan Albert (kebetulan nama kita sama),<br />
<br />
Kualifikasi untuk jabatan tertentu itu ditentukan oleh requirement posisi yang akan ditempati. Biasa untuk mengetahui requirement tersebut hal yang dilakukan adalah mendapatkan gambaran tentang rincian pekerjaan/proses yang harus dijalankan oleh pemegang posisi itu. Dari rincian tersebut kemudian akan didapatkan requirementnya. <br />
<br />
Kualifikasi suatu jabatan yang sama, Lets say IT manager, bisa berbeda antar satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Sebagai Orang IT anda tentunya paham benar bahwa untuk perusahaan yang lebih kecil masalah IT-nya tidak akan se complicated perusahaan yang besar, sehingga bisa saja walaupun jabatannya adalah sama2 IT Manager tetapi kualifikasinya berbeda antara perusahaan yang kecil dan yang besar (tentunya gaji-nya pun akan berbeda).<br />
<br />
Dari contoh anda tentang pengemudi Direksi, bisa saja kualifikasi tersebut menjadi benar sebab ternyata rincian pekerjaan pengemudi tersebut tidak hanya mengemudikan mobil "sedan" direksi saja tetapi juga menjadi supir truck perusahaan jika direksi-nya lagi keluar kota (ini contoh saja).<br />
<br />
Yang menjadi salah, adalah apabila satu jabatan membutuhkan begitu banyak requirement sehingga kualifikasi yang dibutuhkan adalah kualifikasi superman, ini dapat berakibat jabatan tersebut tidak ada yang dapat mendudukinya, karena memang tidak ada superman.<br />
<br />
Demikian, semoga membantu.<br />
<br />
Albert Manesa.<br />
<br />
-------------------<br />
<br />
From: <asiagian@softhome.net><br />
Sent: Tuesday, April 30, 2002 4:07 AM<br />
<br />
Apakah sampai sekarang persyaratan itu (masih) ada? Saya sudah mendengar "rumor" seperti itu lama sekali, tapi tidak tahu bahwa hal ini memang nyata.<br />
<br />
Salam<br />
Albert<br />
<br />
-------------------<br />
<br />
From: "Albert Siagian" <asiagian@softhome.net><br />
Sent: Tuesday, April 30, 2002 4:30 AM<br />
<br />
Rekan Albert (juga :-) )<br />
<br />
Kami, di milis IT, justru melihat banyak seperti yang anda tulis terakhir. Hampir setiap posting lowongan kerja seperti ini.<br />
<br />
Saya kutip tanggapan anda:<br />
Yang menjadi salah, adalah apabila satu jabatan membutuhkan begitu banyak requirement sehingga kualifikasi yang dibutuhkan adalah kualifikasi superman, ini dapat berakibat jabatan tersebut tidak ada yang dapat mendudukinya, karena memang tidak ada superman.<br />
<br />
Saya tidak tahu apakah hal yang sama berlaku dibidang lain. Justru itulah kami bingung, apakah sebetulnya banyak perusahaan yang HR-nya masih "blur" dalam hal menentukan kualifikasi yang sesuai dengan posisi, untuk bidang IT?<br />
<br />
Maaf, kalau saya kasih ilustrasi tentang "pengemudi", karena saya pikir ini lebih mudah dicerna, daripada saya kasih contoh kasus nyata tapi tidak semua orang di milis ini mengerti IT.<br />
<br />
Salam<br />
Albert<br />
<br />
-------------------<br />
<br />
From: "MULJANA Tjetjep" <tjetjep.muljana@totalfinaelf.com><br />
Sent: Tuesday, April 30, 2002 5:28 AM<br />
<br />
Saya punya pendapat agak lain.<br />
<br />
Meskipun persyaratan tersebut, seperti sopir Dirut, harus juga bisa mengendarai Truk gandengan, sebenar nya untuk perusahaan tertentu memang masuk akal juga.<br />
<br />
Misalnya suatu perusahaan kecil yang tidak akan mampu membayar banyak karyawan, maka karyawan tersebut harus "serba bisa", misalnya tadi, sopir direktur, kalau salah satu sopir truk berhalangan, sopir direktur tadi bisa menggantikannya Direktur nya mungkin nyopir sendiri.<br />
<br />
Jadi disini bukan "kualifikasi" tapi ke "serba bisa"an nya yang diperlukan. Dan alasan nya bukan mencari Superman, tapi untuk penghematan biaya.<br />
<br />
Trims.<br />
<br />
-------------------<br />
<br />
From: "APINDO HQ" <apndoeai@jakarta.wasantara.net.id><br />
Sent: Tuesday, April 30, 2002 5:40 AM<br />
<br />
Sebenarnya kalau kita mau memperbaharui KJI (Klasifikasi Jabatan Indonesia) terbitan tahun 1984, yang sekarang tidak di update juga tidak dipakai lagi, maka dengan mengacu pada standard KJ kesulitan semacam ini dapat teratasi. Pernah ada pembahasan untuk menggunakan KJ dari Amrik, Eopah atau Ausi, tapi sebatas kajian dan tidak ada kelanjutannya.<br />
<br />
Dengan mengacu pada KJ, uraian jabatan, syarat jabatan dan klasifikasinya jelas, berarti standard harganya juga dapat dipatok rata-rata berapa. Tapi sayang kita belum punya lagi seperti itu.<br />
<br />
HRI Club sebagai wadah insan HR mungkin tertarik untuk membuat kajian KJ Indonesia, syukur-syukur jadi Kodifikasi KJI lengkap, yang tentunya secara periodik akan dikaji ulang dan diperbarui. KJI ini dapat dipakai pula sebagai rujukan untuk membuat sertifikasi jabatan yang diterbitkan oleh lembaga tertentu yang telah terakreditasi.<br />
<br />
Salam,<br />
Zax<br />
<br />
-------------------<br />
<br />
From: "Yoyok Waluyo" <yoyok_waluyo@yahoo.com><br />
Sent: Tuesday, April 30, 2002 6:29 AM<br />
<br />
Bp. Zax,<br />
<br />
Ide anda untuk membuat guidance jabatan/posisi sangat ruarrrr biasa.... lha tapi daripada yang bikin HRI atau informal HR gatherings yang lain.. apa gak lebih baik sekarang ini saatnya untuk APINDO yang berinisiatif menyusun survey result atau practical guidance seperti itu.. menurut saya, di jagad Indonesia ini APINDO yang paling kompeten untuk menyusun, karena anggotanya tersebar di seluruh nusantara. <br />
<br />
Mempunyai members yang numorous itu akan sangat membantu penyusunannya, karena masing-masing anggota terbagi dalam berbagai sektor yang berbeda. Biasanya, masing-masing sektor punya uniqueness dalam penyebutan dan hirarki posisi. Pasti juga termasuk kualifikasi, deskripsi, prasyarat, kompetensi atau aspek lain yang menerangkan masing-masing posisi/jabatan. Setelah dilakukan survei dan analisa, resultnya bisa dijual dengan strategi pricing yang berbeda, anggota APINDO (yang bayar iuran) dapet discount, sedangkan yang non member (termasuk yang selalu nunggak) harganya tetap. <br />
<br />
Saya yakin seluruh mailing list members akan setuju kalo APINDO berinisiatif bikin dan pasti banyaklah yang akan beli dan memanfaatkan service ini... <br />
<br />
Regards.<br />
<br />
-------------------<br />
<br />
From: "Denny Herdian Makarim" <jb-ga@jst-mfg.com><br />
Sent: Tuesday, April 30, 2002 7:00 AM<br />
<br />
Ha.. ha..<br />
<br />
Pak Yoyok, kami SETUJU berat dgn usul-nya, malah SEPULUH deh..<br />
<br />
salam<br />
<br />
-------------------<br />
<br />
From: "Albert Siagian" <asiagian@softhome.net><br />
Sent: Tuesday, April 30, 2002 7:33 AM<br />
<br />
Memang masuk akal kalau untuk orang tertentu, misalnya fresh graduates, yang kadang-kadang belum tahu orientasi dia mau kemana. Semua pekerjaan dikuasai dan di coba, yang pada akhirnya nanti dia bisa menemukan jati diri, mau jadi apa.<br />
<br />
Buat saya, menjadi tidak masuk akal kalau semua persyaratan tersebut masih di tambah 1 persyaratan penting "pengalaman minimal 5 tahun" !<br />
<br />
Orang yang sudah bekerja sekian lama, umumnya sudah berorientasi pada 1 atau 2 keahlian, bukan 5 atau 10. Memang sih ada, tapi berapa perbandingannya? 1:100? 1:1000?<br />
<br />
Kemudian yang terakhir ya...UUD alias ujung-ujungnya duit. Kalaupun ada orang yang "serba bisa", apakah dia mau digaji sama besarnya dengan orang yang punya 1 kualifikasi? Secara normal tentunya tidak. Seperti yang anda katakan, perusahaan kecil yang tidak mampu membayar banyak karwayan, berarti kemungkinan besar juga tidak bisa memberikan gaji yang layak untuk kualifikasi yang "serba bisa" tersebut.<br />
<br />
Salam<br />
Albert<br />
<br />
-------------------<br />
<br />
From: "Wiji Alfianto" <wij@apacinti-online.com><br />
Sent: Friday, May 03, 2002 5:22 AM<br />
<br />
Saya kurang sependapat jika orang "serba bisa" (generalis ?) memiliki harga yang lebih "mahal" ketimbang yang spesialilist. Persoalannya bukan saja seberapa luas penguasaaan seseorang atas berberapa ketrampilan, namun juga seberapa dalam ketrampilan tertentu bisa dikuasai secara spesifik. <br />
<br />
Perusahaan yang kurang mampu membayar karyawan dengan gaji tinggi biasanya lebih membutuhkan karyawan dengan rentang kendali job yang luas, dan bukan yang dalam. Yang serba bisa ini yang biasanya yang mau dibayar lebih murah ketimbang yang sudah spesialisasi (profesional?)<br />
<br />
Salam,<br />
Wiji<br />
<br />
-------------------<br />
<br />
From: "Jo Rumeser" <jo@iradat.com><br />
Sent: Tuesday, April 30, 2002 4:32 AM<br />
<br />
Bung Albert,<br />
<br />
Contoh anda bagus sekali. Ini sederhana tetapi sering terjadi, dan penyebabnya bisa bermacam2:<br />
= karena malas berpikir<br />
= karena tidak tahu apa yang sesungguhnya diinginkan, jadi buat saja 'keranjang sampah', siapa tahu ada yang nyangkut.<br />
= karena memang 'akal dan logika'nya terbatas, jadi nggak kepikiran sejauh yang anda pikirkan.<br />
= karena menyuruh 'bawahan' tanpa pedoman yang jelas dan tidak dicek lagi<br />
Mungkin ada kemungkinan2 lain.<br />
<br />
salam,<br />
jo rumeser<br />
<br />
-------------------<br />
<br />
From: "Albert Siagian" <asiagian@softhome.net><br />
Sent: Tuesday, April 30, 2002 4:42 AM<br />
<br />
Bung Jo,<br />
<br />
Dengan kata lain, saya bisa simpulkan bahwa kita/pencari kerja tidak perlu buang-buang waktu untuk melamar, karena perusahaan/HR tersebut tidak tahu kualifikasi yang di inginkan?<br />
<br />
atau<br />
<br />
Maju terus, pantang mundur dan tetap melamar dengan asumsi HR-nya bisa di bohongin pada saat interview, karena dia juga ngga tahu apa yang diinginkan? (kebangetan sih untuk level Manager, tapi mungkin masih bisa untuk level bawah).<br />
<br />
Salam<br />
Albert<br />
<br />
-------------------<br />
<br />
From: "Jo Rumeser" <jo@iradat.com><br />
Sent: Monday, May 06, 2002 2:53 AM<br />
<br />
Bung,<br />
<br />
Kalau hemat saya, kita lihat waktu yg kita miliki. Kalau cukup longgar ya, tidak ada salahnya dicoba. Tetapi kalau wkt kita pas2an, ya harus 'teliti sebelum membeli'. Tetapi biasanya, kalau 'penawarannya' tidak jelas, remunerasinya juga tidak jelas.<br />
<br />
Salam,<br />
jo rumeser</jo@iradat.com></asiagian@softhome.net></jo@iradat.com></wij@apacinti-online.com></asiagian@softhome.net></jb-ga@jst-mfg.com></yoyok_waluyo@yahoo.com></apndoeai@jakarta.wasantara.net.id></tjetjep.muljana@totalfinaelf.com></asiagian@softhome.net></asiagian@softhome.net></ama662002@yahoo.com></hri@topica.com></rtupang@ptcpi.com></asiagian@softhome.net>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6965241778238873343.post-21680448047269577232001-08-30T15:36:00.000-07:002011-05-31T15:58:41.025-07:00Politik Kantor, Telaah Hasil PollingHRI mengadakan polling sederhana untuk meneliti seberapa jauh keberadaan politik kantor terjadi di organisasi di Indonesia. Berikut hasil polling tersebut yang diolah dalah tulisan telaah dari Tim HRI.<br />
<br />
Semua kelompok usia cenderung berpolitik ke segala arah. Mereka cukup mengerti pentingnya menjalin hubungan ke atas, ke samping dan ke bawah karena sudah memiliki pandangan multi dimensi artinya utk mencapai sesuatu mereka perlu dukungan dari semua pihak. Mereka juga sudah menerapkan coopetition (competition + cooperation). Hal ini menunjukkan bahwa ternyata orang Indonesia memiliki awareness yg baik soal ini karena awalnya banyak persepsi miring dimana "menjilat" ini lebih diarahkan ke atas dan hanya oleh orang² yg "agresif". Yang di atas, meski sudah di atas, tetap punya kepentingan dengan yg di bawah supaya tetap di atas. Jadi tidak cuma 'memeras' yg di bawah. Secara umum, masing² pihak sadar adanya "mutual dependency" utk merealisasi interest masing². Agresif, berpandangan multi dimensi, sadar akan multi dependency. Data ini mementahkan pendapat sementara org yg melihat hal ini hanya dilakukan oleh orang/kalangan tertentu. Jadi semuanya berlaku pada semua kelompok usia. Perilaku politik mereka agresif dan multi level dependency.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Dari keseluruhan responden menyatakan 74% perlu berpolitik di kantor, 16% tdk mau, 11% menjadikannya sebagai kesempatan. Data ini memperlihatkan keadaan nyata bahwa memang ada orang yg mencari-cari kesempatan, ada yg tidak mau ikut-ikutan dan sebagian besar sadar akan pentingnya hal ini. Ada kesadaran bahwa politik itu tidak bisa dihindarkan dan merupakan bagian integral dari pekerjaan.<br />
<br />
Lingkup dalam berpolitik di kantor sudah luas, tidak hanya ke individu tapi juga ke unit kerja bahkan sudah ke organisasi. Ini mencerminkan kiprah mereka yg sudah cross departmental dimana strategi pendekatan orang kita yang lebih populis (gotong royong). Mereka sepertinya sudah punya peta 'peperangan' artinya tidak mungkin menang perang kalau cuma main dengan orang per orang atau kalau cuma main di kandang sendiri. Istilahnya mesti pakai cara "keroyokan". Diversity kita bukan di ras, tapi di tingkat sosial. Mungkin satu aspek negatifnya: jadi kelihatan kurang gentleman. Budaya kelompok di kita memang cukup kuat karena "family basis" kita cukup kuat.<br />
<br />
Taktik yang digunakan mengarah pada pembentukan jaringan dan berusaha membangun citra yang positif. Pembentukan jaringan ini sangat konsisten dgn keroyokan tadi sedangkan membangun citra yg positif menggambarkan santunnya orang kita dalam berpolitik walaupun ada juga kecenderungan utk "cari muka". Disamping santun, mungkin ini cara paling aman tapi sebenarnya beresiko. Yang menarik adalah sangat sedikit sekali (hampir tidak ada) yg menggunakan taktik memuji padahal hal ini tidak beresiko. Barangkali karena lebih pasif atau masih malu². Kepribadian orang kita biasanya luarnya pasif sedangkan dalamnya agresif (suka mengambil risiko malah ada kesan kasak-kusuknya juga). Ini sebenarnya mempersulit kolaborasi yg sehat karena banyak "gray area" nya.<br />
<br />
Usia tidak membedakan perilaku politik. Mereka sama² agresif (tapi agresif ketimuran), hati² & keroyokan, istilahnya paradoksial. Ini juga mendukung pada data bahwa memberi pujian dan dukungan sporadis kurang diminati sbg strategi. Ini gaya kepemimpinan khas kultur Indonesia. Sudah bagus sekalipun masih dibilang lumayan. Yg sesungguhnya ada di dalam seringkali tidak tertangkap secara eksplisit. Walaupun perilaku politik ini tidak pandang usia tapi pada kelompok usia 30-an ada agresivitas luar dalam. Hal ini bisa dipahami karena pada usia 30-an ini adalah masa mulai membangun karir dan juga ada kecenderungan berpikir yang enak-enak dan muluk-muluk.<br />
<br />
Arah berpolitik tidak dipengaruhi oleh gender (tetap kesegala arah) walaupun untuk wanita secara umum cenderung ke level yang sejajar (solidaritas perempuan) bukan ke atas. Ini berkaitan dgn budaya di tempat kita dimana posisi wanita di strata sosial masyarakat masih belum berani vertikal. Agak beda pada wanita yg posisinya lebih tinggi dimana kesan ambisiusnya biasanya mulai nampak, dan pada posisi ini solidaritas perempuannya bisa melemah.<br />
<br />
Pada wanita masih ada penolakan berpolitik. Wanita juga cenderung individual-oriented sehingga tidak seagresif dan sekomprehensi pria dlm berpolitik. Wanita juga masih risi dan tidak ambisius dalam berpolitik di kantor.<br />
<br />
Taktik yg digunakan oleh pria & wanita dalam berpolitik di kantor adalah membangun citra positif & membentuk jaringan. Khusus untuk wanita, dua taktik ini cenderung lebih kuat/besar dibandingkan taktik yg lain karena kemungkinan taktik inilah yg paling sesuai dengan kekuatan/kelemahan mereka. Jaringannya lebih ke "saving" dan tanpa orientasi politis. Jadi bagi wanita agak sulit utk memuji atau mendukung secara sporadis. Hal ini tdk lepas dari kultur masyarakat kita. The best among the worst, untuk merasa comfort aja.<br />
<br />
Untuk jabatan, kalangan profesional, manajer bawah, menengah dan atas cenderung memilih membangun citra yang positif sebagai taktik dalam berpolitik di kantor. Sedangkan klerk ternyata lebih suka membentuk jaringan. Bisa jadi hal ini karena pekerjaan klerek memang spesifik sekali dan ruang lingkupnya terbatas. Semakin tinggi jabatan seseorang maka membangun citra positif semakin mendapat tempat, karena ruang lingkupnya semakin luas sehingga banyak yg bisa diekspos.<br />
<br />
Untuk semua tingkat pendidikan, arah politik yg diambil polanya seragam yaitu ke level yg sejajar dan ke atas. Sepertinya ada gejala sindroma kurang mau melihat ke bawah. Hal ini juga bisa kita kaitkan dg sistem pendidikan di kita dimana pada jenjang S1 sedikit sekali materi leadershipnya, terutama followershipnya. Mid leader ini sebenarnya adalah linking pin, bukan malah mencari gantungan ke atas. Tapi yg di atas seringkali juga tidak memperlakukan bawahannya sebagai linking pin (inginnya dilayani terus) dan kurang memiliki konsep servant leadership. Piramida terbalik seharusnya diterapkan. Budaya priayi yg dibawa sejak jaman Belanda masih ada pengaruhnya. Jabatan lebih dilihat sebagai alat utk menaikkan status sosial dan power (menekan yg di bawah) ketimbang utk melayani. Sehingga melihatnya keatas terus dan menjadikan bawahan sebagai pijakan kekuasaan saja.<br />
<br />
Semua tingkat pendidikan memang memandang politik di kantor itu perlu, hanya saja makin tinggi pendidikan, cakupannya cenderung semakin luas. Pada jenjang D3, individu & organisasi seimbang, jenjang S1 lebih individu, dan jenjang S2 lebih ke organisasi. Yang menarik waktu jenjang S1 malah bergeser ke individu (menyempit wawasannya). Seperti penjelasan sebelumnya S1 di kita serba tanggung yaitu dibentuk utk menjadi setengah ilmuwan dan setengah tenaga kerja siap pakai, sehingga sempit sekali wawasannya. Jadi mereka memang tidak disiapkan untuk menjadi (minimal) manajer. Taktik yg digunakan pada seluruh tingkat pendidikan hampir sama yaitu membangun citra positif, pengecualian utk SLTA yg cenderung merata untuk semua taktik.<br />
<br />
Pada masa kerja, arah politik yg diambil ternyata berbeda-beda. Waktu awal-awalnya bekerja masih pada level yg sejajar, lalu semakin lama orientasinya lebih ke atas meskipun pada masa kerja 21-25 tahun ke sejajar lagi, tapi setelah itu kembali berorientasi ke atas. Sepertinya budaya di tempat kerjanya memang demikian artinya utk sukses harus "look up". Ada sistem/pola yg terbentuk secara tidak sengaja di Indonesia bahwa memang "look up" lebih dihargai ketimbang look down. Jadi bukan karena orangnya tidak mau "look down", tapi lingkungan mengantar mereka menjadi "look up", <br />
sehingga mereka menjadi terbiasa. Padahal leader yang sukses itu juga harus "look down".<br />
<br />
Berkaitan dgn masa kerja ini mayoritas menyatakan 'perlu' berpolitik di kantor dan pergerakannya dari individu ke individu, belum kompleks. Taktik yg mereka gunakan pada awal²nya adalah membangun citra positif & membentuk jaringan. Namun semakin lama hanya ke citra positif (lebih individual) dan dipenghujung karir kembali ke citra positif & jaringan. Maturity tampaknya <br />
membawa pekerja kita lebih "wise" sehingga senioritas masih banyak sekali berperan dalam karir di organisasi kita (yg muda belum dianggap terlalu capable). Hanya saja proses maturity lama sekali (setelah 20 th kerja). Mungkin karena pekerja kita kurang dibekali dengan konsep² dasar manajemen. Saat ini dimana keadaan lebih maju banyak bedanya dengan beberapa tahun sebelumnya. Jadi lamanya masa kerja tidak berkorelasi positif kepada penguasaan trik² berpolitik di perusahaan tsb. Sayangnya begitu kemampuan berpolitik matang, karirnya keburu habis sehingga hal ini bisa menjadi penyebab 'post-power syndrome'.<br />
<br />
Kalau berpedoman pada hirarkinya Maslow, pekerja kita butuh waktu lama sekali (hingga di penghujung karir) utk sampai di puncak hirarki. Seharusnya, pada usia kerja produktif, mereka sudah ada di puncak sehingga punya kesempatan yg cukup utk mewujudkannya. Ketiadaan kesempatan bisa menyebabkan kegelisahan pekerja saat pensiun. Kegelisahan yg bisa menjurus ke frustrasi. Penyebabnya kemungkinan "political network elitism". Jadi, yg namanya berpolitik secara jaringan sifatnya sangat eksklusif. Cuma elit² perusahaan saja yg bisa masuk. Ini sangat kontras dgn budaya di kita yg kolektif. Mungkin team approach nya operasional saja, tidak strategic. Jadi kerja utk kumpul2 dan tidak bicara hal-hal yg sifatnya strategis (misalnya bukan utk problem solving hanya execution).<br />
<br />
Banyak manager muda yg gagal bukan karena kemampuan teknisnya, tapi lebih banyak karena human approach-nya yang keliru. Mereka memang cuma executor (seperti robot) dan melakukan pekerjaan yang tidak strategis. Pokoknya jalankan ini, kerjakan itu. Tidak ada upaya utk menumbuhkan karakter pegawai supaya bisa cepat matang. Di sisi lain manager puncak takut kalau bawahannya cepat matang. Penyebab utama kenapa manajemen puncak takut yg bawah lebih pinter atau maju karena posisi atau jabatan di Indonesia begitu tinggi harganya, sehingga apapun dipertaruhkan utk mempertahankannya. Bisa juga krn dia baru aja dapat kesempatan, dan masa utk menikmatinya nggak akan lama krn sdh akan pensiun. Jadi, mereka akan nikmati sepuasnya. Mereka tidak mau diganggu gugat. Jadi pemikirannya bukan ke produktivitas.<br />
<br />
Bagi mereka yg posisinya lebih di atas, keinginan utk membangun citra positif & membentuk jaringan hampir sama, tapi utang budi & dukungan sporadis ternyata juga dipakai. Semakin lama bekerja, logikanya karir makin menanjak. Itu berarti non individu perlu dipakai. Utang budi & dukungan sporadis bisa menjadi taktik pelengkap utk membangun jaringan. Utk jabatan yg lebih rendah, citra positifnya menonjol karena tidak begitu perlu membuat jaringan ke bawah. Sekali lagi mereka lebih "look up". Citra positif lebih utk menjaga wibawa (legitimasi). Leader kita memang menyukai struggle utk mencari legitimasi. Karena legitimasinya bukan datang dari kompetensi, tapi dari perkawanan dan bahkan kolusi (legitimasi semu), isitilahnya "leadership by publicity".<br />
<br />
Mereka yg berada pada posisi sejajar juga sama dan fondasinya tampaknya dimulai dari sini. Mereka membangun jaringan dari individu ke individu lain, seperti merajut. Sikap mereka sebenarnya tidak mau, tapi ada taktiknya. Citra positif & jaringan sama² dominan. Ini spt rule of the game. Jadi, citra positif bersisi triple: ada yg terpaksa, ada yg fungsional, ada yg hanya cari muka. Pada antar individu, membangun citra positifnya menonjol. Sedangkan pada unit kerja & organisasi untuk citra positif & jaringan (hampir) sama. Mungkin karena sudah melibatkan kelompok².<br />
<br />
Sikap mereka tetap menganggap perlu dan pentingnya berpolitik di kantor dengan arah dan lingkup yang tidak terpola (semua lingkup & semua arah). Mereka berpolitik ke atas baik secara individual maupun kelompok. Ke bawah dan ke samping juga demikian. Semua sama pentingnya. Jadi, meskipun dukungan kelompok juga penting, lobi² individual tidak ditinggalkan, dua-duanya jalan. Ini memang tipikal orang kita, fleksibel. Taktiknya juga tetap yaitu membangun citra positif & membentuk jaringan.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6965241778238873343.post-68600573588218023132001-05-30T15:41:00.000-07:002011-05-31T15:57:58.331-07:00Organisasi yang BelajarBagaimana organisasi bisnis mesti menghadapi proses perubahan yang begitu cepat? Bagaimana mereka mesti mempertahankan diri untuk tidak terlempar dari gelanggang persaingan? Apa peran pelatihan? Bagaimana mensiasati pembelajaran?<br />
<br />
Harimau Sumatra telah tinggal hitungan jari. Badak jawa sudah sangat susah di jumpai dan jalak bali sudah sangat sulit di cari. Lepas dari dosa-dosa yang dibuat manusia yang membuat mereka akhirnya menunggu kepunahan, sesungguhnya semua itu terjadi karena faktor ketidak mampuan mahluk tersebut untuk merespon dan beradaptasi secara cepat terhadap perubahan.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Perubahan yang berlangsung begitu cepat telah memaksa organisasi untuk berpikir keras mencari pola yang tepat untuk tetap mampu bertahan dalam persaingan yang begitu keras. Pergeseran struktur organisasi dari yang sistim hirarkis tradisional ke arah bentuk yang lebih flat bahkan cluster adalah contoh-contoh penyesuaian yang diambil oleh organisasi untuk dapat bergerak lebih cekatan. <br />
<br />
Organisasi-organisasi modern bergerak secara cepat untuk merespon perubahan. Mereka yang berada di puncak adalah mereka yang berhasil mensiasati dan menaklukkan perubahan. Jika tidak, sejarah menunjukkan bahwa banyak organisasi telah punah lebih dahulu dari pada binatang langka dan ribuan lagi sedang dalam daftar tunggu bersama-sama dengan mahluk lainnya.<br />
<br />
Perubahan dan persaingan menuntut fleksibilitas yang sangat tinggi. Fleksibilitas menuntut kecepatan dalam mentransfer perubahan itu sendiri ke dalam sendi organisasi. Kecepatan transfering pengetahuan memerlukan suatu sistem atau mekanisme yang benar-benar ampuh dan teruji. Secepat dan setepat apa kita dapat belajar ditengah perubahan lingkungan yang sangat cepat? <br />
<br />
Tak peduli dimana organisasi anda berada, organisasi perlu untuk segera disadarkan bahwa apabila organisasi tidak memiliki kemampuan yang lumayan untuk beradaptasi terhadap perubahan maka kemungkinan organisasi anda sudah ikut antri dalam daftar tunggu kepunahan. Hati-hatilah!!!!!!!!<br />
<br />
Apa yang diperlukan organisasi untuk mampu merespon bahkan berjalan diatas perubahan seperti halnya perahu yang melaju ditengah gelombang adalah kemampuannya yang prima untuk senantiasa belajar. Organisasi perlu belajar untuk secara cepat menguasai perubahan-perubahan yang terjadi disekelilingnya. Kemampuan dan kecepatan belajar ini harus setara dengan kecepatan perubahan. Oleh karenanya perlu suatu sistem belajar yang menyentuh segenap aspek organisasi.<br />
<br />
Metodologi belajar yang banyak berkembang dalam organisasi-organsiasi dewasa ini adalah dengan mengggelar Pelatihan-pelatihan baik managerial maupun teknis. Bagi banyak perusahaan kebutuhan ini misalnya direspon dengan mendirikan pusat-pusat pelatihan, sedang bagi beberapa perusahaan lain cukup dengan mengirimkan orang-orangnya ke lembaga-lembaga pelatihan yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. <br />
<br />
Dinamika perubahan yang begitu cepat digambarkan oleh Jack Welsh dengan tepat dalam kalimat: Sebegitu Cepatnya perubahan sehingga kita baru menyadarinya ketika dia sudah berlalu.<br />
Pertanyaan dan persoalannya sekarang adalah sejauh mana proses-proses pelatihan yang dilakukan telah mampu mengejar proses perubahan yang sangat cepat tersebut? Seluas dan sedalam apa proses pelatihan dan pembelajaran berlangsung dalam organisasi anda? Apakah seluruh lini organisasi anda terlibat dalam proses belajar yang intensif? Atau pelatihan hanya dialami segelintir orang saja? Apakah organsiasi anda memberi anggaran yang “layak” untuk proses ini? Banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari fenomena pembelajaran organisasi yang ada sekarang ini yang membawa keraguan akan kemampuan organisasi-organsiasi bisnis kita menguasai masa depan yang penuh dengan perubahan.<br />
<br />
Lalu apa solusi yang dapat kita tempuh. Tentu saja kita tak hanya hendak jadi penonton ditengah gemuruh kemajuan yang begitu pesat. Situasi ekonomi dan segala kondisi yang ada sekarang tak harus membuat kita tertinggal di landasan.<br />
<br />
Satu strategi yang banyak di anut oleh organisasi-organisasi modern saat ini adalah bagaimana menggulirkan proses belajar intensif dalam nadi organisasi tanpa mengandalkan pada pelatihan-pelatihan formal. Pola-pola yang diterapkan selain mengandalkan pada pembelajaran individu adalah mencoba menciptakan budaya atau kebiasaan belajar dalam organisasi. Inilah yang disebut sebagai organisasi yang belajar. Yakni organsasi yang secara terus menerus memperbaharui diri baik lewat pembelajaran individu maupun kelompok. <br />
<br />
Bagaimana menggulirkan dan menjadikan organisasi anda menjadi organisasi yang terus menerus belajar?<br />
<br />
Mungkin tidak ada manual yang bisa anda gunakan untuk menciptakan suatu organisasi yang belajar. Tidak juga ada langkah yang sangat mudah. Organisasi harus membangun sebuah struktur dan gaya belajar sendiri yang sesuai dengan misi, visi, sejarah, budaya, teknologi dan orang-orangnya. <br />
Namun demikian bukan berarti bahwa menggulirkan pembelajaran dalam organisasi merupakan hal yang tak mungkin. Peter Senge mengatakan "Pada dasarnya, semua kita adalah para pembelajar. Kita tidak hanya memiliki naluri untuk belajar, tetapi juga cinta". Dan karena kita adalah bagian dari organisasi, maka kita dapat membuat belajar menjadi bagian dari organisasi.<br />
<br />
Dibawah ini adalah beberapa kemungkinan (bukan resep) yang diberikan oleh Michael Marquardt & Angus Reynolds yang dapat dikembangkan untuk menciptakan organisasi yang belajar:<br />
Transformasikanlah citra sebagai pembelajar. Strategi jitu yang dapat digunakan untuk bergerak kearah organisasi pembelajar adalah merubah dan membentuk citra yang dimiliki orang tentang belajar. Orang-orang memiliki kecenderungan melihat belajar sebagai bagian dari masa lalu mereka dimana mereka dituntut untuk disiplin, belajar keras dan berada dalam kontrol. Suasana ini harus dirobah dengan mengetengahkan pola belajar yang menyenangkan, santai dan gembira. Pekerja perlu memikirkan bahwa diri mereka bukanlah sekedar kotak dalam organisasi tetapi merupakan kontributor yang cerdas. <br />
<br />
Bentuk Aktivitas Belajar dengan Team. Team pembelajar adalah kemampuan sebuah team untuk memasukkan pola "berpikir bersama". Ini sangat penting karena team, bukan individu, adalah unit belajar paling dasar dalam organisasi modern. <br />
<br />
Rubah peran para manajer. Manajer dalam organisasi yang belajar harus memiliki satu mimpi yaitu: bagaimana meningkatkan kinerja dengan membudayakan belajar.<br />
<br />
Dorong eksperimen dan pengambilan resiko. Pembelajaran yang benar tidak dapat terjadi tanpa eksperimen. Milikilah pahlawan organisasi yang berani bereksperimen, bukan mereka yang tidak pernah menabrakkan kapal. Bangunlah suatu sistem yang menghargai dan membantu orang belajar. <br />
Bangun mekanisme untuk menyebar luaskan pembelajaran. Buatlah even yang memastikan bahwa semangat belajar telah tersebar keseluruh sendi organisasi. Xerox dan Corning memiliki even tahunan dimana team-team pekerja mempresentasikan inovasi-inovasi mereka.<br />
<br />
Berdayakan Orang-orang. Jika karyawan diberikan kepercayaan, tanggung jawab dan pengakuan dalam mencapai sesuatu, maka ia akan belajar pada level yang optimal. Samsung telah membangun beberapa mekanisme untuk memelihara kebebasan karyawan dalam melakukan sesuatu. Untuk bekerja lebih produktif dan kreatif, individu harus memiliki kekuatan untuk belajar.<br />
<br />
Bangun disiplin untuk "Systems thingking". System thinking-kemampuan untuk melihat pola dan hubungan- merupakan ketrampilan yang sangat dibutuhkan tetapi bagi banyak orang sangat sulit dilakukan. <br />
<br />
Buatlah budaya perbaikan berkelanjutan (Continuous Improvement). Organisasi yang belajar dapat terbentuk dalam budaya perusahaan yang mengembangkan perbaikan berkelanjutan. Dalam organisasi yang belajar, kualitas merupakan hal yang utama dalam produk dan servis. Motorolla memulai proses menjadi organisasi yang belajar ketika membuat komitmen untuk melakukan "the six sigma improvement process", suatu level kualitas yang tidak membolehkan adanya kerusakan lebih dari 3.4 defect per million dalam barang produksinya. Ini memaksa organisasi untuk mencari jalan mencapai yang terbaik dan ini menjadikan mereka menjadi pembelajar terbaik.<br />
<br />
Banyak cara yang dapat dilakukan. Beberapa hal diatas mungkin dapat memberi stimulus untuk membangun suatu sistem belajar yang benar-benar sesuai dengan kondisi organisasi anda. Hal yang paling dekat misalnya membetuk kelompok-kelompok belajar, mendorong para atasan untuk menjadi learning fasilitator di lingkungan masing-masing, membuka arus informasi seluas-luasnya di dalam organisasi, membiasakan semua orang yang baru mendapat sesuatu yang baru untuk membagi-bagikannya kepada orang lain -hal ini misalnya dapat ditempuh dengan membuat laporan atau mempresentasikan hasil training-, membentuk kelompok-kelompok belajar mandiri yang di dukung oleh para line managers dan tentu saja menyiapkan perangkat-perangkat yang dibutuhkan organisasi untuk belajar. <br />
<br />
Harus diakui, tidak mudah untuk menggulirkan atau membuat organisasi anda menjadi organisasi pembelajar. Berikut ini adalah beberapa kendala yang sering muncul dan menghambat berlangsungnya proses belajar yang harus menjadi perhatian anda:<br />
<br />
<b>Birokrasi</b>. Seringkali, ketika perusahaan menjadsi berkembang, mereka juga menjadi sangat birokratis. Kebijakan dan Peraturan menggantikan energi dan kreativitas.<br />
<b>Control</b>. Kontrol yang tinggi terhadap informasi, keputusan, orang dan teknologi dapat menjadi kendala bagi proses belajar.<br />
<b>Miskinnya Komunikasi</b>. Beberapa organisasi memiliki struktur komunikasi vertikal yang sangat kaku, kemampuan mendengar yang sempit, dan sulit mengakses informasi. Kehidupan belajar akan menjadi mati dalam situasi seperti ini.<br />
<b>Miskin Kepemimpinan</b>. Pemimpin akan menjadi contoh bagi pembelajaran yang berkelanjutan. <br />
<b>Hirarki yang kaku</b>. Hirarki yang kaku adalah hambatan besar dalam menggulirkan suasana belajar.<br />
<br />
Ditulis oleh: Tunggul Butarbutar (Tim HRI)Unknownnoreply@blogger.com0